Jelantah tak sekadar limbah

Jelantah tak sekadar limbah

Terpantau mobil bak terbuka warna hitam mengangkut puluhan jerigen yang berisi jelantah “minyak goreng bekas pakai” memasuki halaman pabrik yang dikelola oleh Yayasan Lengis Hijau. Menurut keterangan supir yang bernama Melki hari ini dirinya membawa 400 liter jelantah, dirinya menjadi supir yang bertugas mengambil jelantah dari beberapa hotel di kawasan Kuta, Denpasar.

Hari itu, Melki baru selesai keliling dari hotel dan restoran yang ada di seputaran Kuta. Perolehan hari itu lebih sedikit dibanding hari sebelumnya. Biasanya dirinya bisa mengumpulkan 500an liter atau yang paling banyak sampai 1000liter jelantah. Jelatah itu dibeli dengan harga Rp2000 perliternya. Jelantah yang sudah terkumpul tersebut kemudian akan diolah kembali menjadi beberapa produk.

Pengolahan jelantah itu dilakukan pertama kali pada bulan Febuari Tahun 2013 oleh Yayasan Lengis Hijau melalui unit usahanya PT Bali Hijau Biodisel. Yayasan ini digagas oleh Ceritas Switzerland, lembaga swadaya masyarakat asal Swiss.

Jelantah tak sekadar limbah
Jelantah tak sekadar limbah

Mereka memilih Bali, karena pulau Dewata itu dianggap memiliki banyak restoran dan hotel. Restoran dan hotel itu hampir bisa dipastika menggunakan minyak goreng untuk memasak.

Direktur PT Bali Hijau Biodiesel Endra Setyawan memperkirakan seluruh hotel dan restoran di Bali bisa menghasilkan jelantah kurang lebih 100 ribu liter perbulan.

Sementara untuk rumah tangga, Endra memperkirakan jelantah yang dihasilkan berkisar 4 juta liter perbulan. Angka itu didapat dengan asumsi setiap rumah tangga menggunakan minyak goreng antara 2 sampai 4 liter perbulan kali 1 juta keluarga yang ada di Bali.

Dengan angka-angka itu, menurut Endra, total jelantah yang dihasilkan di Bali bisa mencapai 1 juta liter setiap bulannya.

Hotel Pullmann Bali Legian Beach merupakan salah satu penyalur jelantah ke Yayasan Lengis Hijau. “Sejak pertengahan 2016,” kata Direktur Sumber Daya Manusia Hotel Pullmann Bali Legian Beach, Agus Pranowo.

Menurut Agus, setiap bulan Hotel Pullmann Bali Legian Beach menyalurkan kurang lebih 300 liter jelantah ke Yayasan Lengis.

Tri Hermawan, penanggung jawab produksi PT Bali Hijau Biodiesel mengatakan pengolahan itu bertujuan untuk mengurangi penyelewengan jelantah yang dipakai ulang. “Biasanya dijual lagi ke warung menjadi minyak curah,” ujarnya.

Padahal, makanan yang diolah dari minyak jelantah itu sangat berbahaya bagi tubuh. “Salah satunya menimbulkan karsinogen pemicu kanker. Juga meningkatkan resiko hipertensi dan kerusakan hati” ujarnya.

Tujuan lain, kata dia, agar pencemaran lingkungan akibat pembuangan jelantah bisa berkurang. “Jelantah itu sulit terurai,” katanya. Ia mencontohkan, satu liter jelantah bisa mencemari 500 liter permukaan air. “Harapan kami ke depan pengolahan jelantah ini bisa menjadi pengganti solar.”

Saya sempat berkunjung ke pabrik mereka yang bertempat di Jl. Cargo Sari Nomor 4 X, Ubung Kaja, Denpasar Utara. Pabrik sekaligus kantor ini menempati lahan seluas 8 are. Beberapa tabung besar di tempatkan di sudut ruang pengolahan. Ratusan jeriken juga terlihat menumpuk.

Menurut Tri, satu tabung bisa menampung 1000 liter jelantah. “Setelah diolah, bisa menghasilkan 950 liter biodiesel,” katanya.

Karena biodisel ini berasal dari nabati, kata Tri, emisi karbonnya lebih rendah dari solar industri. “Hasil pembakaran (biodiesel) lebih rendah 80 persen,” ujarnya. Hal itu dikarenakan viskositas atau kekentalan biodiesel lebih tinggi dibandingkan solar.

Untuk harga jual biodiesel, Yayasan Lengis mematok harga Rp10 ribu perliter. Produksi tahun ini pun menurun drastis bila dibandingkan dengan dua tahun lalu. Tahun ini produksi biodiesel sekitar 2000 liter perbulan. “Sekarang tergantung permintaan,” ujarnya. Sedangkan dua tahun lalu produksi biodiesel bisa mencapai 30 ribu liter.

Tri berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan berukuran 3×2 meter. Aroma harum tercium di ruangan itu. Di atas meja terdapat banyak bongkah sabun berbentuk persegi beraneka warna. Ada juga tampungan cairan kental yang hampir mengeras. “Itu baru sehari dicetak, proses menjadi sabun butuh waktu seminggu,” katanya.

Sabun berbahan jelantah? Anda benar. Pada 2016 PT Bali Hijau Biodiesel mencoba pengolahan jelantah menjadi sabun mandi. “Bahan utama sabun itu basa ditambah lemak nabati,” ujarnya.

Proses tersebut disebut saponifikasi. Rumus pembuatan yaitu, lemak nabati dicampur dengan larutan basa, atau air dengan natrium hidroksida.

Namun produk olah sabun itu sampai saat ini belum dijual. Tri beralasan, karena saat ini mereka masih mengolah warna dan aroma.

Ni Luh Arpiwi, dosen jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Udayana, yang meniliti sabun buatan Yayasan Lengis Hijau mengatakan sabun yang dibuat menghasilkan busa yang baik. “Tetapi masih ada sedikit aroma minyak bekas,” katanya. Karenanya, untuk uji selanjutnya, pembuatan perlu ditambah pewangi agar bau jelantahnya samar.

Selain itu, kata Arpiwi, berdasar kuisioner yang pernah disebar terhadap 40 responden, lima responden menyebut muncul gatal setelah menggunakan sabun berbahan jelantah itu. “Ini perlu penelitian lebih lanjut untuk memurnikan jelantah sebelum dibuat sabun padat,” katanya.

Pengolahan limbah restoran jelantah menjadi biodiesel dan sabun memang melalui proses berbeda. Namun inti dari pengolahan tersebut, menurut Tri, intinya menurunkan kandungan asam lemak bebas atau free fatty acid. Proses itu disebut esterifikasi.

Menurut Tri, asam lemak bebas dalam minyak di bawah 1 persen. Setelah minyak digunakan untuk menggoreng, asam lemak bebas bisa meningkat menjadi 3 persen. Peningkatan itu sesuai dengan beberapa kali minyak digunakan.

Salah satu pengguna biodiesel adalah Bio Bus milik Green School Bali. Mereka mengaku sudah menggunakan produk olahan Yayasan Lengis itu sejak 2015. Hingga saat ini sudah ada empat jenis mobil yang menggunakan bahan biodiesel buatan Yayasan Lengis.

Menurut Anggit Dimas Anggoro, inovator produk Bio Bus Green School, biodiesel bisa merawat kualitas mesin semakin tahan lama. “Biodiesel bisa melubrikasi, mengurangi gesekan mesin dan piston,” ujarnya.

Koordinator Bio Bus Green School, Made Gusta memamerkan mobil yang menggunakan biodiesel itu kepada saya. Saat mobil dihidupkan, ia jongkok di belakang knalpot. “Kalau pakai solar pasti kita sudah enggak tahan baunya,” katanya. “Pernah juga baunya seperti ayam goreng.”

Menurut Made Gusta, setiap pekan Green School membeli sebanyak 400 liter biodiesel hasil olahan jelantah dari Yayasan Lengis. Setiap harinya Bio Bus itu digunakan untuk mengantar dan menjemput para murid Green School.

Kata Made, ketika berkendara di jalanan, Bio Bus Green School itu sering menarik perhatikan pengendara lain. Kali ini bukan karena aroma ayam goreng yang keluar dari kenalpot, melainkan karena moto yang ditempel di sisi Bio Bus. Tulisan itu berbunyi “Bus ini berbahan minyak jelantah. Prakarsa murid Green School”.

“Banyak orang yang melihat dan ingin tahu apakah benar jelantah bisa digunakan untuk bahan bakar kendaraan,” ucap Made.

Tidak hanya mengkampanyekan penggunaan biodiesel, Green School juga ikut serta berperan aktif dalam pengumpulan jelantah. Bentuknya, sekolah ini juga ikut membantu mengumpulkan jelantah dari hotel dan restoran. Sejak tahun ini, Green School dapat mengumpulkan 1500 liter jelantah setiap bulannya untuk disumbangkan ke Yayasan Lengis Hijau.

“Kami ada program hari Rabu mengajak anak-anak (murid) berjalan-jalan mencari jelantah,” kata Anggit.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!