Mengais nafkah dari kopi keliling kisah penjual kopi di jakarta
Melihat pemandangan sepeda penuh dengan termos dan kopi saset yang dikayuh hilir – mudik di sekitar Taman Menteng, Jakarta Pusat, bukanlah hal yang asing. Para penjual kopi keliling, yang sering disebut dengan istilah starling (starbuck keliling), menjadi pemandangan sehari – hari bagi masyarakat sekitar.
Salah satu penjual kopi keliling yang dikenal adalah Ahmad. Sudah tujuh tahun lamanya ia menjajakan kopi keliling. Setiap hari, Ahmad biasa beroperasi mulai pukul 10.00 di sekitaran Taman Menteng. Ahmad berasal dari Madura dan merantau ke Jakarta bersama istrinya, meninggalkan anak mereka yang masih bersekolah di kampung halaman.
Di Jakarta, Ahmad dan istrinya tinggal di daerah Kwitang, Jakarta Pusat, yang merupakan tempat tinggal bagi banyak penjaja kopi keliling lainnya, sebagian besar juga berasal dari Madura. Ahmad mengungkapkan bahwa pendapatan dari berjualan kopi tak menentu, namun ia memiliki keinginan untuk membuka usaha sendiri, seperti minimarket. “Jual starling gini capek. Enak kalau punya minimarket,” kata Ahmad.
Berbeda dengan Ahmad, Bakir, rekan seprofesinya, tak punya cita – cita untuk membuka usaha sendiri karena keterbatasan modal. Bakir sudah mengayuh sepeda penuh kopi saset selama 10 tahun. “Sehari biasanya saya dapat untung Rp100.000,” kata Bakir yang ditemui di kampung kopi Kwitang, Jakarta Pusat.
Tidak hanya kopi, minuman saset yang dijual bermacam – macam, mulai dari susu saset hingga minuman rasa buah dengan harga variatif antara Rp3.000 hingga Rp5.000. Lokasi tempat Bakir berkeliling adalah Bundaran HI, Jakarta Pusat. Dia mengayuh sepedanya menawarkan kopi dan mangkal dari siang hingga malam.
Repotnya kena razia
Selama 10 tahun berjualan kopi, Bakir sudah empat kali terjaring razia Satpol PP di Bundaran HI. “Tapi mau gimana lagi ya, saya harus cari nafkah,” kata Bakir. Hasan, juragan di kampung kopi, mengatakan bahwa para penjaja kopi keliling hampir setiap hari terjaring razia. Biasanya, para pedagang akan melapor ke Hasan bila terkena razia.
“Berjualan di Taman Menteng juga sebenarnya tidak boleh. Tapi ada toleransi asal sampahnya dibuang dan tamannya dijaga kebersihannya,” ujar Hasan. Menurut Hasan, yang paling merepotkan adalah bila pedagang terjaring razia di daerah Istana Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara. Mereka biasanya langsung diamankan ke markas Satpol PP di Cakung, Jakarta Timur.
“Kalau sudah begitu bisa sidang, dibawa ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Yang urus ya saya, biar jualannya enggak disita,” katanya. Jika tertangkap satu kali, Hasan harus membayar denda Rp100.000. Dua kali Rp200.000. Bila sudah tiga kali, Hasan harus meminta rekomendasi dari lurah untuk berjanji tidak akan berjualan di sekitar Istana Presiden lagi. “Kalau tertangkap lagi, ya udah, enggak bisa jualan,” katanya.
Dari pemulung menjadi juragan kopi keliling
Kampung kopi yang terletak bersebelahan dengan gedung Bank Indonesia Institute di Kwitang, Jakarta Pusat, terlihat lengang pada siang hari. Gerobak – gerobak penjual makanan berjejer di kampung ini, tempat para penjual kopi keliling memasok barang dagangannya. Hasan, juragan kopi di kampung ini, mengatakan bahwa ia sudah merantau ke Jakarta sejak 1985, saat usianya masih 12 tahun.
“Saya diajak merantau ke Jakarta, awalnya jadi pemulung,” kata pria asal Sampang, Madura itu. Hasan mengingat, ketika merantau hanya mengeluarkan uang Rp1.500 untuk tiket kereta api dari Surabaya ke Jakarta. Awalnya, ia tinggal di Pejambon, Jakarta Pusat.
Setelah bergonta – ganti profesi, Hasan mencoba berjualan keliling pada awal 1990. Mulanya, ia mengadu nasib berjualan teh botol menggunakan gerobak. Beberapa kali ia terjaring razia, lalu memutuskan untuk tidak lagi menggunakan gerobak, tetapi memikul barang dagangannya. “Dulu jualnya ke Pasar Tanah Abang, ke kantor – kantor. Tapi lama – lama pegal dan capek juga. Bahu jadi sakit,” kata Hasan.
Bersama seorang temannya, Hasan memiliki ide berjualan minuman menggunakan sepeda. Dengan mengayuh sepeda, ia bisa menjangkau lebih banyak pelanggan. Seiring waktu, bisnis berjualan minuman keliling menggunakan sepeda ini makin berkembang. Hasan kemudian mengajak teman – temannya untuk berjualan keliling juga menggunakan sepeda. Sejak saat itu, ia tidak lagi menjadi penjual kopi keliling, tetapi juragan yang memasok kebutuhan barang dagangan untuk para penjaja kopi.
Kesuksesan dari kopi keliling
Berkat kopi – kopi yang dijajakan dari para penjual bersepeda itu, Hasan bisa menunaikan ibadah haji dan umrah. Di tokonya, ia memiliki hunian empat lantai yang disewakan kepada para pedagang kopi keliling. Hasan mengatakan, ia hanya membantu memfasilitasi orang – orang yang memang ingin bekerja. “Karena peluang kerja bagi kita yang putus sekolah ke Jakarta enggak ada ijazah, ya starling ini,” kata Hasan.
Mayoritas penjual kopi keliling di bawah Hasan tidak punya modal dari kampung halamannya. Mereka hanya modal nekat, membawa badan saja. Hasan kemudian memberikan modal kepada orang – orang itu, seperti sepeda, termos, dan barang dagangan senilai Rp3 juta. “Cara bayarnya (mengembalikan modal) ada dua, yang pertama dicicil atau bayar di belakang. Nanti kalau sudah lunas, sepedanya bisa jadi milik mereka,” ujar Hasan.
Saat ini, Hasan membawahi sekitar 370-an pedagang kopi keliling. “Tadinya sekitar 700, cuma mecah – mecah (pindah juragan), akhirnya sisa 300-an pedagang,” ujarnya. Hasan memperoleh barang – barang dagangannya langsung dari distributor, sehingga ia bisa menjual barang – barang tersebut dengan harga lebih murah ke pedagang kopi keliling daripada ketika ia mengambil dari agen.
Penjual kopi keliling di bawah Hasan banyak yang berjualan di daerah Jakarta Selatan. Sebab, banyak kantor dan proyek pembangunan jalan yang dikerjakan di Jakarta Selatan. Maret dan Oktober adalah bulan terlaris karena sedikitnya hari libur kerja. “Kalau sepi itu paling tanggal merah, karena kantor libur. Bulan puasa juga begitu, satu bulan saya akan tutup, pedagang juga pada mudik ke kampung,” kata Hasan.
Kisah para penjual kopi keliling ini adalah gambaran perjuangan mereka dalam mencari nafkah di tengah kota Jakarta. Meski dihadapkan dengan berbagai tantangan seperti razia Satpol PP, mereka tetap bersemangat untuk mengais rezeki. Berkat semangat dan kerja keras, beberapa dari mereka bahkan bisa meraih kesuksesan dan memberikan peluang kerja bagi orang lain.