Warung kelontong madura selalu buka 24 jam

Warung kelontong madura selalu buka 24 jam tak kenal lelah?

Merantau ke kota – kota besar seperti Jakarta, tidak selalu memimpikan kerja formal. Eka (18 tahun) yang baru lulus SMS mengikuti tradisi keluarganya dari Sumenep, Madura untuk merantau ke Ibu Kota sebagai penjaga warung kelontong di salah satu daerah di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Warung tersebut dimiliki oleh majikannya yang juga berasal dari kampung halamannya.

Dirinya bekerja sejak 5 bulan lalu itu merupakan warung pertama yang ia jaga sebagai perantau di Jakarta, pemilik warung itu bahkan sudah mempunyai 10 cabang yang tersebar di wilayah DKI Jakarta, dari barat sampai selatan.

Warung kelontong madura selalu buka 24 jam
Warung kelontong madura selalu buka 24 jam

Warung kelontong yang dijaga oleh orang – orang Madura ini semakin lama semakin menjamur, kemunculannya bukan hal yang baru. Namun eksistensinya semakin kentara pada saat pandemi melanda. Hamper setiap gang memiliki satu warung yang dimiliki dan dijaga oleh perantau dari Madura.

Pada saat itu seluruh warung sampai toko modern hanya berani buka sampai jam tertentu, warung kelontong Madura tetap melayani selama 24 jam.

Hampir mustahil menemukan warung Madura memiliki waktu tutup toko, termasuk yang dijaga oleh Eka. Tanpa hari libur warung itu melayani pembeli yang datang silih berganti, dari ramainya pembeli di siang terik sampai sunyi dini hari.

Eka tidak keberatan melakukan pekerjaan itu. Baginya sudah seperti kewajiban saling membantu dan menguatkan perekonomian sesama orang dari kampung halamannya.

“Karena di Madura sendiri, meskipun berbeda – beda tata caranya dalam menghargai sesama, tetap masih kuat, termasuk saling membantu perekonomian,” ujar Eka.

Eka tak menjaga warung sepanjang hari seorang diri. Dia bekerja secara bergantian dengan suami, yang belum lama menikah karena perjodohan. Suami Eka yang berusia 24 tahun itu bekerja usai shift Eka. Usai suami Eka, shift diganti oleh pamannya yang berusia 21 tahun.

“Ngantuk pasti ada, tapi kan ada shift-nya, ada yang ganti, istirahat dulu. Saya kerja dari jam 7 sampai jam 3, nanti malamnya lagi dari 8 sampai jam 1, dan seterusnya,” imbuh Eka.

Ketiga orang ini tinggal di sebuah ruangan yang menempel dengan warung tersebut. Masih ada penyekat yang membedakan warung sebagai tempat berjualan, tempat makan sampai tempat tidur. Eka mengaku bangunan itu cukup untuknya beristirahat dengan suami dan pamannya.

Eka menyebut, jika penghasilan setiap warung Madura bisa menentukan jumlah penjaganya. Warung yang dijaga 3 sampai 4 orang, bisa mencapai penghasilan Rp 5 juta setiap harinya.

Berbeda dengan Andre (24 tahun) dan Abuy (21 tahun), dua penjaga warung kelontong Madura yang letaknya tidak jauh dari tempat Eka berjualan, berjarak sekitar 500 meter.

Andre sudah bekerja sebagai penjaga warung Madura sejak tahun 2016. Tak pernah berganti profesi, hanya berganti lokasi warung karena warung kelontong Madura memang terkenal memiliki sistem rolling. Satu penjaga bisa bekerja di beberapa warung pada waktu yang berbeda.

Menurut Andre, bekerja sebagai penjaga warung Madura memiliki berbagai keunggulan dibanding dengan penjaga toko modern. Meskipun bukan warung milik sendiri, namun ia mendapat kebebasan dalam gaya dan caranya berjualan. dirinya sebut, serasa warung ia yang punya.

Andre juga mengaku tak pernah mengkonsumsi obat masuk angin, meskipun ia harus jaga warung 12 jam.

“Seperti yang dilihat, kerja di sini bebas. Meskipun kerja sama orang, kaya kerja sama diri sendiri, kalau di ruko modern itu harus disiplin, kalau di sini nggak disiplin tapi tetap enak, meskipun 24 jam,” ujar Andre. “Kalau kita ketiduran, ya tinggal dibangunin aja,” imbuhnya.

Andre dan Abuy tinggal di dalam warung yang mereka jaga dengan ukuran 3×4 meter. Waktu mereka habiskan dengan berjaga secara bergantian setiap harinya. Tidak ada waktu libur, di sela waktu juga dilakukan untuk ke pasar berbelanja stok – stok barang yang mulai menipis.

Pada saat Andre berjaga pada pukul 6 pagi sampai 6 sore, Abuy akan terbaring atau duduk di atas alas tidur di dalam warung. Dengan menggenggam smartphone Apple seri 11, Abuy terlihat sedang bermain game mobile legend.

Pada setiap inci warung tersebut ada barang dagangan yang ditata dengan rapi, mengelilingi mereka di dalamnya. Ada kamar mandi kecil di sebelah warung untuk mandi dan buang air.

Abuy yang sering mengeluh kepanasan, sehingga tak jarang dirinya berjualan tanpa mengenakan kaus. Namun ketika memasuki tengah malam dia pantas diacungi jempol sebab harus meningkatkan kewaspadaan di tengan rasa kantuk.

Pandemi jadi momen kebangkitan warung madura

Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra, mengatakan orang Madura memiliki cara mereka bertahan lewat berdagang dan paguyuban yang kuat.

Menurut dia, fenomena warung kelontong Madura ini dinilai semakin menguat bertepatan dengan munculnya pandemi COVID-19. Di saat toko modern lain tunduk pada aturan PPKM dengan menutup gerai mereka saat malam hari atau jam – jam tertentu, warung Madura nekat untuk berjualan sampai 24 jam.

Hal itu dinilai didorong dari keyakinan bahwa ancaman COVID-19 tidak membahayakan mereka. Menurut Heddy, bagi sebagian besar orang Madura, mereka tak takut dengan corona.

“Dengan adanya COVID-19, mereka nggak punya pesaing, toko modern itu tutup jam 8 malam, mereka berani buka, dan sampai sekarang terus begitu. Kenapa? karena orang Madura lebih berani, ada sebagian orang Madura itu nggak punya ketakutan dengan yang namanya covid,” kata dia.

Orang Madura juga dipandang memiliki hubungan erat dengan satu sama lain, tidak hanya soal perdagangan, mereka memiliki kecenderungan saling membantu satu sama lain.

“Kemudian patron client relationship atau hubungan patronase yang kuat. Di saat mereka menemukan seseorang yang mampu membantunya dalam meningkatkan taraf ekonomi, mereka akan setia dan bersolidaritas,” ujarnya.

Kemudian faktor primordialisme yang kuat dari kesamaan tertentu. Heddy mencontohkan, di Madura terdapat beberapa kelompok arisan, mereka memiliki pemimpin dan bendera yang melambangkan kelompok tersebut.

Hal tersebut meningkatkan rasa kesamaan dalam identitas mereka dan menambah tingkat solidaritas.

“Karena ada kesamaan kelompok – kelompok arisan, kesamaan asal tempat misalnya sama – sama dari Sumenep dan persoalan harga diri itu kuat sekali,” ungkap dia. Sebab adanya kesamaan kelompok itu, maka mereka membentuk jejaring bisnis.

Jejaring bisnis seperti ini menurut Heddy mirip dengan yang terjadi pada jejaring bisnis orang – orang China. Dalam menjalankan bisnis, orang – orang China menurut dia mempunyai jaringan yang sangat kuat dengan memanfaatkan kelompok – kelompok rahasia atau secret society yang saling mendukung satu dengan yang lainnya.

“Maduran itu sepertinya tanpa sadar mengikuti pola bisnis dari orang – orang keturunan China itu” tutup Prof Heddy.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!